Tugas PAI Al-qur’an sebagai sumber hukum
Islam
I. PENDAHULUAN
Di zaman Rasulullah, sumber hukum Islam ada dua yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Jika terdapat suatu kasus, Rasul menunggu wahyu untuk menjelaskan kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka beliau menetapkan hukum tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan Hadits.
Sebagai sumber hukum Islam yang pertama, al-Qur’an mempunyai peranan penting dalam rangka penetapan hukum Islam terutama setelah meninggalnya Rasul saw. Keberadaan Rasul saw di tengah-tengah para sahabat masih mungkin terjadi penetapan hukum baru, karena sang pembuat hukum masih hidup diantara mereka, namun setelah meninggalnya beliau, tentu tidak ada lagi sumber hukum baru kecuali dengan cara-cara yang selama ini kita kenal.
Keywords:
II. PEMBAHASAN
Pengertian al-Qur’an
Menurut bahasa al-Qur’an berasal dari kata قرأ – يقرأ – قرأة artinya bacaan atau yang dibaca Al-Qur’an adalah mashdar yang diartikan dengan isim maf’ul yaitu maqru’. Kata qaraa juga berarti menghimpun dalam mengumpulkan huruf-huruf dan kalimat-kalimat dalam bacaan.
Menurut istilah al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dan membacanya adalah ibadah. Term kalam sebenarnya meliputi seluruh perkataan, namun karena istilah itu disandarkan kepada Allah hingga menjadi kalamullah. Karenanya, perkataan yang tidak berasal dari selain Allah seperti perkataan manusia, jin maupun malaikat tidak dinamakan al-Qur’an. diturunkan kepada Nabi Muhammad saw meniadakan kepada kalamullah yang diturunkan kepada selainnya, seperti Jabur, Taurat dan Injil. Membacanya adalah perintah, karena itu membaca al-Qur’an adalah ibadah.
Pengertian Ikhtilaf (perbedaan pendapat)
Menurut bahasa ikhtilaf berasal dari kata خلف – يخلف – خلافا artinya berbeda-perbedaan. Menurut istilah ikhtilaf adalah berlainan pendapat antara dua atau beberapa orang terhadap beberapa objek atau masalah tertentu. Dalam pembahasan ini, yang dimaksud ikhtilaf adalah perbedaan pendapat diantara dua ahli hukum Islam (fuqaha) dalam menetapkan sebagian hukum Islam yang bersifat furu’iyah (cabang).
Sebab-sebab Ikhtilaf Ulama dalam Memahami al-Qur’an
Sebab perbedaan pendapat ulama dalam menentukan suatu hukum adalah perbedaan mereka dalam memahami al-Qur’an. Baik dari segi bahasa, kontradiksi antara nash al-Qur’an dan beberapa perbedaan lainnya. Lebih jelas, perbedaan tersebut diantaranya:
1. Perbedaan dalam memahami al-Qur’an dari segi bahasa
a. Suatu kata mempunyai makna hakiki dan majazi
Sebagai contoh adalah kata الأب dalam bahasa Arab memiliki makna hakiki ayah atau bapak, namun jika dimutlakkan akan bermakna الجد yang berarti kakek, ini adalah makna majazi.
Contoh lain, perselisihan ulama dalam memahami kalimat أوينفوا من الأرض pada surat al-maidah: 33, kalimat ini berarti “dibuang dari negeri (tempat kediamannya)”, ayat tersebut adalah hukuman atas orang yang memerangi agama Allah dan Rasul-Nya. Makna hakiki dari kalimat tersebut adalah orang-orang yang melakukan kerusakan dari negeri tempat ia melakukan kerusakan itu, ini adalah pendapat jumhur ulama. Sedangkan makna majazi dari kalimat tersebut adalah dimasukkan penjara sebagaimana pendapatnya Hanafiyah.
Sumber perselisihan tersebut adalah penggunaan kata nafa (pembuangan) secara majazi diartikan sebagai “penjara”. Golongan pertama berpendapat bahwa lafazh tersebut harus sesuai dengan maknanya yang hakiki, selama tidak ada petunjuk bahwa lafazh tersebut harus digunakan dalan pengertian lain.
Sementara golongan Hanafiyah berpendapat, terdapat beberapa petunjuk yang mengisyaratkan tidak dipakainya makna hakiki. Karena membuangnya dari muka bumi merupakan tindakan yang mustahil dilakukan dan hanya mungkin dilakukan dengan cara membunuhnya. Kata nafa (pembuangan) menunjukkan arti hukuman yang bukan pembunuhan. Karenanya, jika yang dimaksud adalah pembuangan secara khusus dari negeri Islam, maka hukuman tersebut sama dengan mencampakkan seorang Muslim ke negeri kafir dan tindakan tersebut tidak dibenarkan oleh syara’.
b. Suatu kata memiliki dua makna atau lebih.
Contohnya lafazh القروء dalam firman Allah untuk menyertakan masa iddah bagi wanita-wanita yang dijatuhi talak dalam masa haidh.
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu ) tiga kali quruu/suci”. (Q. S. Al-Baqarah/2: 228)
Lafazh quruu disini boleh dipakai untuk pengertian haidh dan suci. Telah dibuktikan penggunaannya dalam bahasa Arab untuk kedua pengertian tersebut. Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud adalah salah satu dari dua pengertian tersebut. Dua pengertian itu yang menyebabkan perselisihan pendapat dikalangan ulama.
Imam Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa pengertian yang dimaksud adalah suci. Karena itu, iddah wanita yang dithalak dihitung menurut masa suci. Iddah berakhir dengan berakhirnya masa suci yang ketiga.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengertian yang dimaksud adalah haidh. Karenanya, iddah wanita yang dithalak dihitung sejak masa haid dan iddahnya berakhir sesudah masa haidhnya yang ketiga.
c. Penggunaan kata tunggal untuk makna menurut bahasa dan syari’at.
Misalnya perbedaan para ulama tentang makna kata بناتكم (anak-anak perempuan) yang tersebut dalam ayat-ayat tentang wanita-wanita yang haram dinikahi.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa perempuan yang lahir melalui perzinaan termasuk dalam kategori بناتكم , mengingat bahwa ia adalah anak perempuan dalam pengertian bahasa. Sehingga, Abu Hanifah mengharamkan seseorang yang menikahi anak perempuan yang berasal dari air maninya.
Sementara imam Syafi’i berpendapat bahwa kata بناتكم tidak mencakup anak perempuan dari hasil perzinaan. Oleh karena itu, imam Syafi’i tidak mengharamkan seseorang untuk menikahi anak perempuan yang berasal dari air maninya. Mengingat bahwa anak perempuan hasil zina tidak termasuk istilah anak dalam pengertian syara’. Dalilnya adalah anak perempuan tersebut tidak berhak mewarisi dan diwarisi serta dilarang berkhalwat dengan anak perempuan tersebut.
Sumber perselisihan itu adalah adanya kemungkinan kata tersebut digunakan dalam pengertian bahasa yaitu bahwa bintun adalah anak perempuan yang dilahirkan dari air mani seorang laki-laki. Juga, dapat digunakan dalam pengertian syara’, karena kata bintun berarti anak perempuan yang dilahirkan dari air mani seorang laki-laki yang diikat pernikahan yang sah menurut syara’.
2. Kebersamaan Makna Suatu Kata dalam Susunan Kalimat
Firman Allah swt:
$yJ¯RÎ) (#ätÂt“y_ tûïÏ%©!$# tbqç/Í‘$ptä† ©!$# ¼ã&s!qß™u‘ur tböqyèó¡tƒur ’Îû ÇÚö‘F{$# #·Š$|¡sù br& (#þqè=Gs)ム÷rr& (#þqç6¯=|Áム÷rr& yì©Üs)è? óOÎgƒÏ‰÷ƒr& Nßgè=ã_ö‘r&ur ô`ÏiB A#»n=Åz ÷rr& (#öqxÿYムšÆÏB ÇÚö‘F{$# 4 šÏ9ºsŒ óOßgs9 Ó“÷“Åz ’Îû $u‹÷R‘‰9$# ( óOßgs9ur ’Îû ÍotÅzFy$# ë>#x‹tã íOŠÏàtã
Artnya:
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan dimuka bumi, hendaklah mereka dibunuh, atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan timbale balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya)”. (Q. S. Al-Maidah: 33)
Ayat tersebut tersusun dari beberapa kalimat yang dihubungkan antara satu sama lainnya. Lafazh au (atau) dalam bahasa Arab digunakan untuk memilih antara dua atau beberapa hal, penjenisan atau pembagian.
Dari sini timbul perselisihan diantara para fuqoha. Apakah hukum itu dijatuhkan berdasarkan kejahatan-kejahatan yang telah ditetapkan syara’. Jika demikian, maka orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya tidak dihukum bunuh kecuali ia telah nyata-nyata melakukan pembunuhan. Tangan dan kakinya tidak dipotong dan dibuang. Demikian pendapat jumhur ulama yang mengartikan au (atau) sebagai penjenisan atau pembagian.
Sedangkan imam Abu Hanifah mengartikan au sebagai pilihan tidak pada muthlak muharib (orang yang memerangi secara umum), namun yang dimaksud adalah muharib secara khusus, yaitu membunuh dan mengambil harta. Menurut Abu Hanifah hukuman terhadap kejahatan seperti ini boleh memilih antara empat hukuman:
1. memotong tangan dan kakinya secara silang dan membunuhnya
2. memotong tangan dan kakinya secara silang dan menyalibnya
3. menyalib saja tanpa memotong tangan dan kakinya
4. membunuhnya saja demi kemaslahatan
3. Perbedaan dalam Kaidah Ushuliyah
Contoh:
Perselisihan pendapat dalam hal penetuan kadar penyusuan yang dapat mengharamkan perkawinan. Sebagian ulama berpendapat bahwa satu susuan itu mengharamkan perkawinan sedikit atau banyak. Sebagian ulama berpendapat bahwa satu susuan tidak menjadikan haramnya perkawinan.
4. Perbedaan dalam Penetapan Hukum dengan Kaidah Fiqhiyah
Contoh:
Hadits dari Abi Huraerah:
“Janganlah kamu mengikat susu unta dan kambing, barang siapa membelinya sesudah itu (sesudah diikat) ia boleh memilih antara dua hal setelah memerahnya. Jika ia suka, ia boleh memegang (meneruskan membelinya itu), dan jika tidak suka, maka ia boleh mengembalikan hewan itu disertai satu gantang kurma ”.
sebagian ulama berpendapat dengan apa yang dimaksud Hadits tersebut. Karenanya, mereka menetapkan bahwa sipembeli berhak mengembalikan hewan yang dibelinya dengan menyertakan satu gantang kurma kepada sipenjual, tidak membedakan susu yang diperahnya itu sedikit atau banyak.
Golongan Hanafiyah mengemukakan pendapat bahwasanya tidak boleh dikembalikan hewan yang dibeli dengan alasan susunya dikat. Oleh karena itu, mereka tidak mewajibkan pemberian satu gantang.
III. PENUTUP
Uraian diatas menunjukkan bahwa hukum Islam sangat komprehensif dan fleksibel. Ini disebabkan karena al-Qur’an menetapkan kaidah-kaidah umum dan ushul-ushul universal. Hal ini memungkinkan para mujtahid untuk melakukan ijtihad sebagai solusi penetapan hukum Islam. Sebagai agama yang diciptakan menjadi rahmat bagi semua mahluk hidup, tentu kandungan hokum yang terkandung dalam al-Qur’an bias bersifat fleksibel karena di dalamnya memberikan berbagai penafsiran.
Kesimpulan
1. Di zaman Rasulullah, sumber hukum Islam ada dua yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah
2. Al-qur'an adalah sumber hukum Islam yang pertama dan utama
3. Menurut bahasa Al-qur'a berarti bacaan
4. Menurut istilah al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dan membacanya adalah ibadah
5. ikhtilaf adalah perbedaan pendapat diantara dua ahli hukum Islam (fuqaha) dalam menetapkan sebagian hukum Islam yang bersifat furu’iyah (cabang).
6.Sebab perbedaan pendapat ulama dalam menentukan suatu hukum adalah perbedaan mereka dalam memahami al-Qur’an. Baik dari segi bahasa, kontradiksi antara nash al-Qur’an dan beberapa perbedaan lainnya.
7. Perbedaan tersebut diantaranya:
- Perbedaan dari segi bahasa
- Suatu kata memiliki 2 makna atau lebih
- Penggunaan kata tunggal untuk makna menurut bahasa dan syariat
- Perbedaan dalam penetapan hukum dengan kaidah Fiqhiyah
8. Hukum Islam sangat komprehensif dan fleksibel
9. Al-Qur’an menetapkan kaidah-kaidah umum dan ushul-ushul universal
10. Kandungan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an bias bersifat fleksibel karena di dalamnya memberikan berbagai penafsiran.
Di zaman Rasulullah, sumber hukum Islam ada dua yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Jika terdapat suatu kasus, Rasul menunggu wahyu untuk menjelaskan kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka beliau menetapkan hukum tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan Hadits.
Sebagai sumber hukum Islam yang pertama, al-Qur’an mempunyai peranan penting dalam rangka penetapan hukum Islam terutama setelah meninggalnya Rasul saw. Keberadaan Rasul saw di tengah-tengah para sahabat masih mungkin terjadi penetapan hukum baru, karena sang pembuat hukum masih hidup diantara mereka, namun setelah meninggalnya beliau, tentu tidak ada lagi sumber hukum baru kecuali dengan cara-cara yang selama ini kita kenal.
Keywords:
II. PEMBAHASAN
Pengertian al-Qur’an
Menurut bahasa al-Qur’an berasal dari kata قرأ – يقرأ – قرأة artinya bacaan atau yang dibaca Al-Qur’an adalah mashdar yang diartikan dengan isim maf’ul yaitu maqru’. Kata qaraa juga berarti menghimpun dalam mengumpulkan huruf-huruf dan kalimat-kalimat dalam bacaan.
Menurut istilah al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dan membacanya adalah ibadah. Term kalam sebenarnya meliputi seluruh perkataan, namun karena istilah itu disandarkan kepada Allah hingga menjadi kalamullah. Karenanya, perkataan yang tidak berasal dari selain Allah seperti perkataan manusia, jin maupun malaikat tidak dinamakan al-Qur’an. diturunkan kepada Nabi Muhammad saw meniadakan kepada kalamullah yang diturunkan kepada selainnya, seperti Jabur, Taurat dan Injil. Membacanya adalah perintah, karena itu membaca al-Qur’an adalah ibadah.
Pengertian Ikhtilaf (perbedaan pendapat)
Menurut bahasa ikhtilaf berasal dari kata خلف – يخلف – خلافا artinya berbeda-perbedaan. Menurut istilah ikhtilaf adalah berlainan pendapat antara dua atau beberapa orang terhadap beberapa objek atau masalah tertentu. Dalam pembahasan ini, yang dimaksud ikhtilaf adalah perbedaan pendapat diantara dua ahli hukum Islam (fuqaha) dalam menetapkan sebagian hukum Islam yang bersifat furu’iyah (cabang).
Sebab-sebab Ikhtilaf Ulama dalam Memahami al-Qur’an
Sebab perbedaan pendapat ulama dalam menentukan suatu hukum adalah perbedaan mereka dalam memahami al-Qur’an. Baik dari segi bahasa, kontradiksi antara nash al-Qur’an dan beberapa perbedaan lainnya. Lebih jelas, perbedaan tersebut diantaranya:
1. Perbedaan dalam memahami al-Qur’an dari segi bahasa
a. Suatu kata mempunyai makna hakiki dan majazi
Sebagai contoh adalah kata الأب dalam bahasa Arab memiliki makna hakiki ayah atau bapak, namun jika dimutlakkan akan bermakna الجد yang berarti kakek, ini adalah makna majazi.
Contoh lain, perselisihan ulama dalam memahami kalimat أوينفوا من الأرض pada surat al-maidah: 33, kalimat ini berarti “dibuang dari negeri (tempat kediamannya)”, ayat tersebut adalah hukuman atas orang yang memerangi agama Allah dan Rasul-Nya. Makna hakiki dari kalimat tersebut adalah orang-orang yang melakukan kerusakan dari negeri tempat ia melakukan kerusakan itu, ini adalah pendapat jumhur ulama. Sedangkan makna majazi dari kalimat tersebut adalah dimasukkan penjara sebagaimana pendapatnya Hanafiyah.
Sumber perselisihan tersebut adalah penggunaan kata nafa (pembuangan) secara majazi diartikan sebagai “penjara”. Golongan pertama berpendapat bahwa lafazh tersebut harus sesuai dengan maknanya yang hakiki, selama tidak ada petunjuk bahwa lafazh tersebut harus digunakan dalan pengertian lain.
Sementara golongan Hanafiyah berpendapat, terdapat beberapa petunjuk yang mengisyaratkan tidak dipakainya makna hakiki. Karena membuangnya dari muka bumi merupakan tindakan yang mustahil dilakukan dan hanya mungkin dilakukan dengan cara membunuhnya. Kata nafa (pembuangan) menunjukkan arti hukuman yang bukan pembunuhan. Karenanya, jika yang dimaksud adalah pembuangan secara khusus dari negeri Islam, maka hukuman tersebut sama dengan mencampakkan seorang Muslim ke negeri kafir dan tindakan tersebut tidak dibenarkan oleh syara’.
b. Suatu kata memiliki dua makna atau lebih.
Contohnya lafazh القروء dalam firman Allah untuk menyertakan masa iddah bagi wanita-wanita yang dijatuhi talak dalam masa haidh.
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu ) tiga kali quruu/suci”. (Q. S. Al-Baqarah/2: 228)
Lafazh quruu disini boleh dipakai untuk pengertian haidh dan suci. Telah dibuktikan penggunaannya dalam bahasa Arab untuk kedua pengertian tersebut. Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud adalah salah satu dari dua pengertian tersebut. Dua pengertian itu yang menyebabkan perselisihan pendapat dikalangan ulama.
Imam Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa pengertian yang dimaksud adalah suci. Karena itu, iddah wanita yang dithalak dihitung menurut masa suci. Iddah berakhir dengan berakhirnya masa suci yang ketiga.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengertian yang dimaksud adalah haidh. Karenanya, iddah wanita yang dithalak dihitung sejak masa haid dan iddahnya berakhir sesudah masa haidhnya yang ketiga.
c. Penggunaan kata tunggal untuk makna menurut bahasa dan syari’at.
Misalnya perbedaan para ulama tentang makna kata بناتكم (anak-anak perempuan) yang tersebut dalam ayat-ayat tentang wanita-wanita yang haram dinikahi.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa perempuan yang lahir melalui perzinaan termasuk dalam kategori بناتكم , mengingat bahwa ia adalah anak perempuan dalam pengertian bahasa. Sehingga, Abu Hanifah mengharamkan seseorang yang menikahi anak perempuan yang berasal dari air maninya.
Sementara imam Syafi’i berpendapat bahwa kata بناتكم tidak mencakup anak perempuan dari hasil perzinaan. Oleh karena itu, imam Syafi’i tidak mengharamkan seseorang untuk menikahi anak perempuan yang berasal dari air maninya. Mengingat bahwa anak perempuan hasil zina tidak termasuk istilah anak dalam pengertian syara’. Dalilnya adalah anak perempuan tersebut tidak berhak mewarisi dan diwarisi serta dilarang berkhalwat dengan anak perempuan tersebut.
Sumber perselisihan itu adalah adanya kemungkinan kata tersebut digunakan dalam pengertian bahasa yaitu bahwa bintun adalah anak perempuan yang dilahirkan dari air mani seorang laki-laki. Juga, dapat digunakan dalam pengertian syara’, karena kata bintun berarti anak perempuan yang dilahirkan dari air mani seorang laki-laki yang diikat pernikahan yang sah menurut syara’.
2. Kebersamaan Makna Suatu Kata dalam Susunan Kalimat
Firman Allah swt:
$yJ¯RÎ) (#ätÂt“y_ tûïÏ%©!$# tbqç/Í‘$ptä† ©!$# ¼ã&s!qß™u‘ur tböqyèó¡tƒur ’Îû ÇÚö‘F{$# #·Š$|¡sù br& (#þqè=Gs)ム÷rr& (#þqç6¯=|Áム÷rr& yì©Üs)è? óOÎgƒÏ‰÷ƒr& Nßgè=ã_ö‘r&ur ô`ÏiB A#»n=Åz ÷rr& (#öqxÿYムšÆÏB ÇÚö‘F{$# 4 šÏ9ºsŒ óOßgs9 Ó“÷“Åz ’Îû $u‹÷R‘‰9$# ( óOßgs9ur ’Îû ÍotÅzFy$# ë>#x‹tã íOŠÏàtã
Artnya:
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan dimuka bumi, hendaklah mereka dibunuh, atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan timbale balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya)”. (Q. S. Al-Maidah: 33)
Ayat tersebut tersusun dari beberapa kalimat yang dihubungkan antara satu sama lainnya. Lafazh au (atau) dalam bahasa Arab digunakan untuk memilih antara dua atau beberapa hal, penjenisan atau pembagian.
Dari sini timbul perselisihan diantara para fuqoha. Apakah hukum itu dijatuhkan berdasarkan kejahatan-kejahatan yang telah ditetapkan syara’. Jika demikian, maka orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya tidak dihukum bunuh kecuali ia telah nyata-nyata melakukan pembunuhan. Tangan dan kakinya tidak dipotong dan dibuang. Demikian pendapat jumhur ulama yang mengartikan au (atau) sebagai penjenisan atau pembagian.
Sedangkan imam Abu Hanifah mengartikan au sebagai pilihan tidak pada muthlak muharib (orang yang memerangi secara umum), namun yang dimaksud adalah muharib secara khusus, yaitu membunuh dan mengambil harta. Menurut Abu Hanifah hukuman terhadap kejahatan seperti ini boleh memilih antara empat hukuman:
1. memotong tangan dan kakinya secara silang dan membunuhnya
2. memotong tangan dan kakinya secara silang dan menyalibnya
3. menyalib saja tanpa memotong tangan dan kakinya
4. membunuhnya saja demi kemaslahatan
3. Perbedaan dalam Kaidah Ushuliyah
Contoh:
Perselisihan pendapat dalam hal penetuan kadar penyusuan yang dapat mengharamkan perkawinan. Sebagian ulama berpendapat bahwa satu susuan itu mengharamkan perkawinan sedikit atau banyak. Sebagian ulama berpendapat bahwa satu susuan tidak menjadikan haramnya perkawinan.
4. Perbedaan dalam Penetapan Hukum dengan Kaidah Fiqhiyah
Contoh:
Hadits dari Abi Huraerah:
“Janganlah kamu mengikat susu unta dan kambing, barang siapa membelinya sesudah itu (sesudah diikat) ia boleh memilih antara dua hal setelah memerahnya. Jika ia suka, ia boleh memegang (meneruskan membelinya itu), dan jika tidak suka, maka ia boleh mengembalikan hewan itu disertai satu gantang kurma ”.
sebagian ulama berpendapat dengan apa yang dimaksud Hadits tersebut. Karenanya, mereka menetapkan bahwa sipembeli berhak mengembalikan hewan yang dibelinya dengan menyertakan satu gantang kurma kepada sipenjual, tidak membedakan susu yang diperahnya itu sedikit atau banyak.
Golongan Hanafiyah mengemukakan pendapat bahwasanya tidak boleh dikembalikan hewan yang dibeli dengan alasan susunya dikat. Oleh karena itu, mereka tidak mewajibkan pemberian satu gantang.
III. PENUTUP
Uraian diatas menunjukkan bahwa hukum Islam sangat komprehensif dan fleksibel. Ini disebabkan karena al-Qur’an menetapkan kaidah-kaidah umum dan ushul-ushul universal. Hal ini memungkinkan para mujtahid untuk melakukan ijtihad sebagai solusi penetapan hukum Islam. Sebagai agama yang diciptakan menjadi rahmat bagi semua mahluk hidup, tentu kandungan hokum yang terkandung dalam al-Qur’an bias bersifat fleksibel karena di dalamnya memberikan berbagai penafsiran.
Kesimpulan
1. Di zaman Rasulullah, sumber hukum Islam ada dua yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah
2. Al-qur'an adalah sumber hukum Islam yang pertama dan utama
3. Menurut bahasa Al-qur'a berarti bacaan
4. Menurut istilah al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dan membacanya adalah ibadah
5. ikhtilaf adalah perbedaan pendapat diantara dua ahli hukum Islam (fuqaha) dalam menetapkan sebagian hukum Islam yang bersifat furu’iyah (cabang).
6.Sebab perbedaan pendapat ulama dalam menentukan suatu hukum adalah perbedaan mereka dalam memahami al-Qur’an. Baik dari segi bahasa, kontradiksi antara nash al-Qur’an dan beberapa perbedaan lainnya.
7. Perbedaan tersebut diantaranya:
- Perbedaan dari segi bahasa
- Suatu kata memiliki 2 makna atau lebih
- Penggunaan kata tunggal untuk makna menurut bahasa dan syariat
- Perbedaan dalam penetapan hukum dengan kaidah Fiqhiyah
8. Hukum Islam sangat komprehensif dan fleksibel
9. Al-Qur’an menetapkan kaidah-kaidah umum dan ushul-ushul universal
10. Kandungan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an bias bersifat fleksibel karena di dalamnya memberikan berbagai penafsiran.
Tugas PAI Iman, Ilmu
dan Amal
Pendahuluan
Manusia
adalah makhlukyang mengenal makna. Jika seekor sapi dihargai
sesuai
dengan besar kecilnya daging,maka manusia yang gemuk belum
tentu
lebih bermakna dibanding yang kurus, orang besar belum tentu
lebih
bermakna dibanding orang kecil, atasan belum tentu lebih
bermakna
dibanding bawahan. Tinggi rendahnya makna disebut martabat.
Orang
yang bermartabat adalah orang yang kehadirannya di pentas
kehidupan
memberi makna,meski boleh jadi kehadirannya hanya sebentar.
Sebaliknya
orang yang kehadirannya tidak memberi makna,meski mungkin
umurnya
panjang atau masa jabatannya lama, ia bukanlah orang yang
bermartabat.
Hadirnya tidakmembuat genap, absennya tidakmembuat
ganjil.
Konsep makna dipengaruhi oleh ilmu,iman dan amal. Orang yang
berilmu
langkahnya dipandu oleh teori, orang yang beriman langkahnya
dipandu
oleh keyakinan,sedangkan orang yang banyak beramal langkahnya
dipandu
oleh semangat.
Konsep
Pengawasan Dalam Kehidupan
Ada
orang yang merasa bebas sebebasnya dalam hidup.Ia menentukan apa
yang
diinginkan dan apa yang dikerjakan, karena ia merasa bahwa
manusia
adalah penentu dalam kehidupan. Baik-buruk,perlu-tidak perlu,
penting-tidakpenting,
pantas-tidakpantas semuanya ditentukan oleh manusia.
Ada
orang yang merasa bahwa hidup ini ada skenarionya dan manusia
harus
hidup mengikuti skenario itu. Jika tidak maka ia akan ditegur
sutradara
dan ditertawakan penonton karena melakukan sesuatu yang
menyimpang
dari skenario. Dari mana skenario itu ? ada yang merasa
bahwa
masyarakatlah penyusun skenario itu, oleh karena itu orang yang
perilakunya
menyimpang akan dikucilkan oleh masyarakat. Yang lain
meyakini
bahwa skenario itu datang dari atas, dari Sang Pencipta
kehidupan,
baik yang melalui kitab suci,ajaran nabi maupun melalui
akal
murni berupa akhlak universal dan kearifan lokal. Penyimpangan
dari
skenario diyakini akan berakibat "kualat".
Pertanyaannya
"siapa" yang merasa diawasi dan "siapa" yang mengawasi ?
Siapa
yang menyuruh mematuhi skenario dan siapa yang menggoda untuk
menyimpang
? siapa pula yang menegur ?
Al
Qur'an surat Qaf ayat 16 berbunyi :
Artinya
: Sungguh Kami(Tuhan) telah menciptakan insan, dan Kami
mengetahui
apa yang dibisikkan oleh nafs nya. Dan kami (mengawasi
mereka)
dari jarak yang lebih dekat dari ulat leher mereka.
Dari
ayat tersebut ada hal-hal yang perlu diterangkan secara detail,
yaitu
(1) insan, (2) nafs (3) bisikan (4) Pengawasan Tuhan
Insan
Al
Qur'an menyebut manusia dengan sebutan basyar dan insan. Basyar
adalah
manusia secara fisik, sedangkan insan adalah manusia sebagai
makhluk
psikologis. Kata insan berasal dari kata nasiya yansa yang
artinya
lupa, dari kata uns yang artionya mesra atau jinak dan
darikata
nasa yanusu yang artinya gejolak. Jadi karakteristik
psikologis
insan ada pada jarak antara lupa dan sadar, mesra dan benci
dan
antara tenang dan bergejolak.
Ada
manusia yang selalu sadar, tenang dan penuh dengan rasa kasih
sayang,
sebaliknya ada manusia yang pelupa,pembenci dan gelisah. Ada
juga
yang tenang tetapi penuh dengan kebencian dan selalu sadar akan
kebenciannya,
dan masíh banyaklagi typology psikologi manusia. Yang
menarik
adalah definisi insan; al insan hayawan nathiq, manusia adalah
hewan
yang berfikir. Jadi pembedanya adalah berfikirnya. Jika manusia
sudah
tidak bisa lagi diukur berfikirnya,maka yang ada tinggal hewannya.
Nafs
Nafs
artinya sisi dalam manusia, atau jiwa. Nafs atau jiwa merupakan
sistem
yang bekerja secara sistemik, dengan sub-sistem akal,hati,
hatinurani,
syahwat dan hawa nafsu.
•
Akal= problem solving capasity, tugasnya berfikir, produknya logik,
ia
mampu menemukan kebenaran tetapi tidak menentukannya. Kebenaran
akal
sifatnya relatip. Akal adalah potensi intelektuil manusia
•
Hati= alat untukmemahami realita. Hal-halyang tidak masukakalbisa
difahami
oleh hati. Muatan hati sangat banyak, dari benci, cinta,
keberanian,
takut, tenang,gelisah dan sebagaianya. Hati bisa longgar,
sempit
dan bahkan tertutup. Hati memimpin sistem kejiwaan, tetapi ia
memiliki
karakter tidak konsisten, bisa jujur,bisa bohong.
•
Nurani berasal dari kata nur artinya cahaya.Nurani adalah cahaya
Tuhan
yang ditempatkan di dalam hati, oleh karena itu ia konsisten dan
tidakbisa
kompromi dengan kebohongan. Nurani selalu jujur. Nurani
seperti
black box yang ada di dalamhati. Sebagai cahaya,nurani bisa
tidak
memancarkan cahaya jika tertutup. Yang sxuka menutupi cahaya
nurani
adalah keserakahan dan perbuatan maksiat. Orang yang nuraninya
mati
seperti orang yang berjalan di tempat gelap, salah langkah,salah
ambil,salah
masuk dan salah naroh. Bahasa Arabnya gelap adalah zhulm,
orangnya
disebut zalim.
•
Syahwat adalah dorongan keinginan kepada sesuatu atau dalam
psikologi
disebut penggerak tingkah laku atau motif. Tuhan menghiasi
manusia
dengan syahwat kepada lawan jenis, bangga kepada anak-anak,
menyukai
barang berharga, kendaraan bagus, kebun dan ternak. Syahwat
sifatnya
netral, jikaditunaikan secara benar menjadi ibadah, jika
ditunaikan
tanpamengindahkan nilai-nilaimoraldan agama menjadi dosa.
•
Hawa nafsu adalah dorongan kepada syahwat yang bersifat rendah,.
Karakteristiknya
ingin segera menunaikan dan tak peduli akibat,baik
bagi
dirinya maupun bagi orang lain.
Bisikan
Manusia
ketika menerima stimulus, ia mempersepsi kemudian
memasukkannya
kedalam memori,kemudian berfikir sebelum bertindak.
Semua
sub sistem dalam jiwanya memberi masukan atau bisikan,misalnya ;
•
akal memberi pertimbangan yang logis
•
hati berusaha memahami apapun realitas yang dihadapi
•
nurani mengingatkan konsekwensi2 jika salah langkah
•
syahwat mendorong agar mengambil keputusan dan bertindak yang dengan
itu
ia memperoleh kepuasan.
•
Hawa nafsu membisiki agar segera mengambil kesempatan dalam
kesempitan,
gunakan aji mumpung, gak usah ragu-ragu dan gak usah
pikirkan
yang lain, pokoknya enak.
Menejemen
Qalbu (hati)
Manusia
bisa berfikir , merasa, dan berkehendak. Kehendaknya
dipengaruhi
oleh cara berfikirnya dan cara merasanya, fikirannya juga
dipengaruhi
oleh apa yang dikehendaki, perasaanya juga dipengaruhi
oleh
apa yang difikir dan dikehendaki.. Seluruh perangkat kejiwaan
dapat
diberdayakan untuk memilih mana yang terbaik bagi dirinya dan
bagi
orang lain, bagi negara, baik untuk sekarang,nanti atau bahkan
untuk
anak cucunya. Tapi itu semua butuh menejemen yang tepat, mana
yang
harus di dorong,mana yang harus ditekan,mana yang harus
dipertimbangkan
dan mana yang harus diturut.
•
Jika lebih mengikuti akalnya maka orang cenderung rationil,tapi
terkadang
kering
•
Jika lebih mengikuti kata hatinya maka ia bisa tenang atau gelisah
bergantung
moodnya
•
Jika lebih mengikuti nuraninya dijamin pilihan benar dan langkahnya
tepat
•
Jika lebih mengikuti syahwat, maka ia cenderung mengarah kepada
glamourism
dan hedonisme
•
Jika lebih mengikuti hawa nafsunya dijamin sesat dan merusak dirinya
(dan
orang lain)
Peran
Ilmu,Iman dan Amal dalam Pengawasan
Secara
teori, orang berilmu yang beriman dan suka beramal dijamin
hidupnya
benar,proporsional. Tetapi dalam praktek, orang pinter
terkadang
keblinger, imannya juga tidak dijamin stabil, kembang
kempis,
terkadang menebal dan terkadang menipis, oleh karena itu orang
terkadang
gagal mengawasi diri sendiri. Manusia itu makhluk sosial
dimana
orang menjadi apa dan siapa bergantung dengan siapa mereka
bergaul.
Lihat saja perilaku anggauta DPR dan pejabat karir, terkadang
cara
berpakaian , cara berjalannya dan seleranyapun menyesuaikan
dengan
"skenario" sosial..
Menurut
hasil penelitian psikologi, 83% perilaku manusia dipengaruhi
oleh
apa yang dilihat, 11% oleh apa yang didengar dan 6% sisanya oleh
berbagai
stimulus. Oleh karena itu kejujuran tidak boleh diserahkan
kepada
hati masing-masing orang. Pegawai Departemen Agama dengan
Pegawai
bukan Departemen agama secara sosial dan psikologis sama saja.
Mencegah
perilaku menyimpang dari aparatur negara Departemen apapun
tidak
cukup dengan nasehat agama (pengaruhnya 11%), tetapi harus
dengan
sistem yang mempersempit ruang aparat untuk berpeluang menyimpang .
•
Ilmu diperlukan bukan untuk ketahanan hati tetapi untuk merancang
sistem
pengawasan hingga logis, komprehensip, efektip dan efisien.
•
Iman diperlukan terutama untuk memberi keteladanan hidup bersih oleh
aparat
eselon, karena bagi masyarakat Indonesia yang paternalistik,
keteladan
sangat efektip dan murah biaya dalam pengawasan aparat negara.
•
Amal perlu digalakkan untuk memberikan etos mengutamakan orang
lain(itsar),
sehingga aparat terobsessi untuk memberi bukan untuk
mengambil.
Uang korupsi biasanya habis untuk foya-foya bukan untuk
beramal,
uang setan kembali ke setan.
Pengawasan
Melekat
Di
akhir ayat al Qur'an tersebut diatas disebutkan bahwa Tuhan berada
pada
jarak yang lebih dekat dibanding urat leher manusia, mengawasi
lalu
lintas bisikan jiwa, bukan hanya apa yang diperbuat dan
dikatakan,
tetapi apa yang hanya terlintas di dalam hatipun Tuhan
mengetahui.
Teks ayat ini merupakan informasi bagi manusia bahwa tidak
ada
sesuatupun yang dilakukan oleh manusia,yang baik maupun yang buruk
kecuali
pasti diketahui oleh Tuhan. Tidak ada sesuatu yang bisa
dimanipulasi
dari pengawasan Tuhan.
Tetapi
efektifitas informasi dari ayat ini diterima secara berbeda
oleh
manusia, bergantung pada bagaimana tingkat pemahamannya, karena
manusia
ada yang hanya mampu berfikir, yang lain sudah bertafakkur,
dan
yang lain sudah bertadabbur
•
berfikir bisa menyerap informasi, tetapi hasilnya hanya bersifat
kognitip.
•
Bertafakkur bisa membayangkan ruang lingkup informasi, dan hasilnya
bisa
bersifat afektip
•
Bertadabbur bisa merasakan kekuatan informasi sehingga hasilnya
bukan
hanya kognitip dan afektip, tapi sudah psikomotorik.
Orang
yang sudah bisa bertadabbur terhadap ayat suci maka dalam
dirinya
sudah ada sistem pengawasan melekat. Ia tak pernah
berandai-andai,
memperhitungkan atau membayangkan melakukan suatu
penyimpangan
dengan harapan tidak akan ketahuan. Orang seperti ini
sudah
alergi terhadap hal-hal yang menyimpang. Nah saya yakin di
negeri
kita,baik yang mengawasi maupun yang diawasi mayoritas masih
berada
pada tataran berfikir, sedikit sekali yang bertafakkur dan
hanya
satu dua yang sudah bisa bertadabbur. Oleh karena itu hanya
sistem
yang ketat dan tepat yang bisa meminimalisir perilaku
menyimpang
aparatur negara , termasuk perilaku menyimpang dari
aparatur
yang mengawasi.
Wallohu
a'lam bissawab
1.
Tinggi rendahnya makna manusia disebut martabat.
2.
Orang yang bermartabat adalah orang yang kehadirannya di pentas
kehidupan
memberi makna,meski boleh jadi kehadirannya hanya sebentar.
3.
Konsep makna dipengaruhi oleh ilmu,iman dan amal. Orang yang
berilmu
langkahnya dipandu oleh teori, orang yang beriman langkahnya
dipandu
oleh keyakinan,sedangkan orang yang banyak beramal langkahnya
dipandu
oleh semangat.
4.
Dari Al-qur'an surat Qaf ayat terkandung 4 hal, yaitu insan, nafs, bisikan, dan
pengawasan tuhan
5.
Al Qur'an menyebut manusia dengan sebutan basyar dan insan. Basyar
adalah
manusia secara fisik, sedangkan insan adalah manusia sebagai
makhluk
psikologis.
6.
Nafs artinya sisi dalam manusia, atau jiwa.
7.
Manusia ketika menerima stimulus, ia mempersepsi kemudian
memasukkannya
kedalam memori,kemudian berfikir sebelum bertindak.
Semua
sub sistem dalam jiwanya memberi masukan atau bisikan.
8.
Secara teori, orang berilmu yang beriman dan suka beramal dijamin
hidupnya
benar,proporsional.
9.Orang
yang sudah bisa bertadabbur terhadap ayat suci maka dalam
dirinya
sudah ada sistem pengawasan melekat.
10.Bertafakkur
bisa membayangkan ruang lingkup informasi, dan hasilnya
bisa
bersifat afektip