I. PENDAHULUAN
Di zaman Rasulullah, sumber hukum Islam ada dua yaitu al-Qur’an dan
al-Sunnah. Jika terdapat suatu kasus, Rasul menunggu wahyu untuk
menjelaskan kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka beliau
menetapkan hukum tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan
Hadits.
Sebagai sumber hukum Islam yang pertama, al-Qur’an mempunyai peranan
penting dalam rangka penetapan hukum Islam terutama setelah meninggalnya
Rasul saw. Keberadaan Rasul saw di tengah-tengah para sahabat masih
mungkin terjadi penetapan hukum baru, karena sang pembuat hukum masih
hidup diantara mereka, namun setelah meninggalnya beliau, tentu tidak
ada lagi sumber hukum baru kecuali dengan cara-cara yang selama ini kita
kenal.
Keywords:
II. PEMBAHASAN
Pengertian al-Qur’an
Menurut bahasa al-Qur’an berasal dari kata قرأ – يقرأ – قرأة artinya bacaan atau yang dibaca.[1] Al-Qur’an adalah mashdar yang diartikan dengan isim maf’ul yaitu maqru’. Kata qaraa juga berarti menghimpun dalam mengumpulkan huruf-huruf dan kalimat-kalimat dalam bacaan.
Menurut istilah al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw dan membacanya adalah ibadah. Term kalam sebenarnya
meliputi seluruh perkataan, namun karena istilah itu disandarkan kepada
Allah hingga menjadi kalamullah. Karenanya, perkataan yang tidak berasal
dari selain Allah seperti perkataan manusia, jin maupun malaikat tidak
dinamakan al-Qur’an. diturunkan kepada Nabi Muhammad saw meniadakan
kepada kalamullah yang diturunkan kepada selainnya, seperti Jabur,
Taurat dan Injil. Membacanya adalah perintah, karena itu membaca
al-Qur’an adalah ibadah.[2]
Pengertian Ikhtilaf (perbedaan pendapat)
Menurut bahasa ikhtilaf berasal dari kata خلف – يخلف – خلافا artinya berbeda-perbedaan.[3]
Menurut istilah ikhtilaf adalah berlainan pendapat antara dua atau
beberapa orang terhadap beberapa objek atau masalah tertentu.[4]
Dalam pembahasan ini, yang dimaksud ikhtilaf adalah perbedaan pendapat
diantara dua ahli hukum Islam (fuqaha) dalam menetapkan sebagian hukum
Islam yang bersifat furu’iyah (cabang).
Sebab-sebab Ikhtilaf Ulama dalam Memahami al-Qur’an
Sebab perbedaan pendapat ulama dalam menentukan suatu hukum adalah
perbedaan mereka dalam memahami al-Qur’an. Baik dari segi bahasa,
kontradiksi antara nash al-Qur’an dan beberapa perbedaan lainnya. Lebih
jelas, perbedaan tersebut diantaranya:
1. Perbedaan dalam memahami al-Qur’an dari segi bahasa
a. Suatu kata mempunyai makna hakiki dan majazi
Sebagai contoh adalah kata الأب dalam bahasa Arab memiliki makna hakiki ayah atau bapak, namun jika dimutlakkan akan bermakna الجد yang berarti kakek, ini adalah makna majazi.
Contoh lain, perselisihan ulama dalam memahami kalimat أوينفوا من الأرض
pada surat al-maidah: 33, kalimat ini berarti “dibuang dari negeri
(tempat kediamannya)”, ayat tersebut adalah hukuman atas orang yang
memerangi agama Allah dan Rasul-Nya. Makna hakiki dari kalimat tersebut
adalah orang-orang yang melakukan kerusakan dari negeri tempat ia
melakukan kerusakan itu, ini adalah pendapat jumhur ulama. Sedangkan
makna majazi dari kalimat tersebut adalah dimasukkan penjara sebagaimana
pendapatnya Hanafiyah.[5]
Sumber perselisihan tersebut adalah penggunaan kata nafa
(pembuangan) secara majazi diartikan sebagai “penjara”. Golongan pertama
berpendapat bahwa lafazh tersebut harus sesuai dengan maknanya yang
hakiki, selama tidak ada petunjuk bahwa lafazh tersebut harus digunakan
dalan pengertian lain.[6]
Sementara golongan Hanafiyah berpendapat, terdapat beberapa petunjuk
yang mengisyaratkan tidak dipakainya makna hakiki. Karena membuangnya
dari muka bumi merupakan tindakan yang mustahil dilakukan dan hanya
mungkin dilakukan dengan cara membunuhnya. Kata nafa
(pembuangan) menunjukkan arti hukuman yang bukan pembunuhan. Karenanya,
jika yang dimaksud adalah pembuangan secara khusus dari negeri Islam,
maka hukuman tersebut sama dengan mencampakkan seorang Muslim ke negeri
kafir dan tindakan tersebut tidak dibenarkan oleh syara’.[7]
b. Suatu kata memiliki dua makna atau lebih.
Contohnya lafazh القروء dalam firman Allah untuk menyertakan masa iddah bagi wanita-wanita yang dijatuhi talak dalam masa haidh.
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu ) tiga kali quruu/suci”. (Q. S. Al-Baqarah/2: 228)
Lafazh quruu disini boleh dipakai untuk pengertian haidh dan
suci. Telah dibuktikan penggunaannya dalam bahasa Arab untuk kedua
pengertian tersebut. Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud adalah salah
satu dari dua pengertian tersebut. Dua pengertian itu yang menyebabkan
perselisihan pendapat dikalangan ulama.
Imam Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa pengertian yang dimaksud
adalah suci. Karena itu, iddah wanita yang dithalak dihitung menurut
masa suci. Iddah berakhir dengan berakhirnya masa suci yang ketiga.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengertian yang dimaksud adalah
haidh. Karenanya, iddah wanita yang dithalak dihitung sejak masa haid
dan iddahnya berakhir sesudah masa haidhnya yang ketiga.[8]
c. Penggunaan kata tunggal untuk makna menurut bahasa dan syari’at.
Misalnya perbedaan para ulama tentang makna kata بناتكم (anak-anak perempuan) yang tersebut dalam ayat-ayat tentang wanita-wanita yang haram dinikahi.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa perempuan yang lahir melalui perzinaan termasuk dalam kategori بناتكم
, mengingat bahwa ia adalah anak perempuan dalam pengertian bahasa.
Sehingga, Abu Hanifah mengharamkan seseorang yang menikahi anak
perempuan yang berasal dari air maninya.[9]
Sementara imam Syafi’i berpendapat bahwa kata بناتكم tidak
mencakup anak perempuan dari hasil perzinaan. Oleh karena itu, imam
Syafi’i tidak mengharamkan seseorang untuk menikahi anak perempuan yang
berasal dari air maninya. Mengingat bahwa anak perempuan hasil zina
tidak termasuk istilah anak dalam pengertian syara’. Dalilnya adalah
anak perempuan tersebut tidak berhak mewarisi dan diwarisi serta
dilarang berkhalwat dengan anak perempuan tersebut.[10]
Sumber perselisihan itu adalah adanya kemungkinan kata tersebut digunakan dalam pengertian bahasa yaitu bahwa bintun
adalah anak perempuan yang dilahirkan dari air mani seorang laki-laki.
Juga, dapat digunakan dalam pengertian syara’, karena kata bintun berarti anak perempuan yang dilahirkan dari air mani seorang laki-laki yang diikat pernikahan yang sah menurut syara’.
2. Kebersamaan Makna Suatu Kata dalam Susunan Kalimat
Firman Allah swt:
$yJ¯RÎ) (#ätÂty_ tûïÏ%©!$# tbqç/Í$ptä ©!$# ¼ã&s!qßuur tböqyèó¡tur Îû ÇÚöF{$# #·$|¡sù br& (#þqè=Gs)ã ÷rr& (#þqç6¯=|Áã ÷rr& yì©Üs)è? óOÎgÏ÷r& Nßgè=ã_ör&ur ô`ÏiB A#»n=Åz ÷rr& (#öqxÿYã ÆÏB ÇÚöF{$# 4 Ï9ºs óOßgs9 Ó÷Åz Îû $u÷R9$# ( óOßgs9ur Îû ÍotÅzFy$# ë>#xtã íOÏàtã
Artnya:
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi
Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan dimuka bumi, hendaklah mereka
dibunuh, atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan
timbale balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya)”. (Q. S. Al-Maidah: 33)
Ayat tersebut tersusun dari beberapa kalimat yang dihubungkan antara satu sama lainnya. Lafazh au (atau) dalam bahasa Arab digunakan untuk memilih antara dua atau beberapa hal, penjenisan atau pembagian.
Dari sini timbul perselisihan diantara para fuqoha. Apakah hukum itu
dijatuhkan berdasarkan kejahatan-kejahatan yang telah ditetapkan syara’.
Jika demikian, maka orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya
tidak dihukum bunuh kecuali ia telah nyata-nyata melakukan pembunuhan.
Tangan dan kakinya tidak dipotong dan dibuang. Demikian pendapat jumhur
ulama yang mengartikan au (atau) sebagai penjenisan atau pembagian.[11]
Sedangkan imam Abu Hanifah mengartikan au sebagai pilihan tidak pada muthlak muharib
(orang yang memerangi secara umum), namun yang dimaksud adalah muharib
secara khusus, yaitu membunuh dan mengambil harta. Menurut Abu Hanifah
hukuman terhadap kejahatan seperti ini boleh memilih antara empat
hukuman:
1. memotong tangan dan kakinya secara silang dan membunuhnya
2. memotong tangan dan kakinya secara silang dan menyalibnya
3. menyalib saja tanpa memotong tangan dan kakinya
4. membunuhnya saja demi kemaslahatan[12]
3. Perbedaan dalam Kaidah Ushuliyah
Contoh:
Perselisihan pendapat dalam hal penetuan kadar penyusuan yang dapat
mengharamkan perkawinan. Sebagian ulama berpendapat bahwa satu susuan
itu mengharamkan perkawinan sedikit atau banyak. Sebagian ulama
berpendapat bahwa satu susuan tidak menjadikan haramnya perkawinan.[13]
4. Perbedaan dalam Penetapan Hukum dengan Kaidah Fiqhiyah
Contoh:
Hadits dari Abi Huraerah:
“Janganlah kamu mengikat susu unta dan kambing, barang siapa
membelinya sesudah itu (sesudah diikat) ia boleh memilih antara dua hal
setelah memerahnya. Jika ia suka, ia boleh memegang (meneruskan
membelinya itu), dan jika tidak suka, maka ia boleh mengembalikan hewan
itu disertai satu gantang kurma ”.
sebagian ulama berpendapat dengan apa yang dimaksud Hadits tersebut.
Karenanya, mereka menetapkan bahwa sipembeli berhak mengembalikan hewan
yang dibelinya dengan menyertakan satu gantang kurma kepada sipenjual,
tidak membedakan susu yang diperahnya itu sedikit atau banyak.[14]
Golongan Hanafiyah mengemukakan pendapat bahwasanya tidak boleh
dikembalikan hewan yang dibeli dengan alasan susunya dikat. Oleh karena
itu, mereka tidak mewajibkan pemberian satu gantang.[15]
III. PENUTUP
Uraian diatas menunjukkan bahwa hukum Islam sangat komprehensif dan
fleksibel. Ini disebabkan karena al-Qur’an menetapkan kaidah-kaidah umum
dan ushul-ushul universal. Hal ini memungkinkan para mujtahid untuk
melakukan ijtihad sebagai solusi penetapan hukum Islam. Sebagai agama
yang diciptakan menjadi rahmat bagi semua mahluk hidup, tentu kandungan
hokum yang terkandung dalam al-Qur’an bias bersifat fleksibel karena di
dalamnya memberikan berbagai penafsiran.
Kesimpulan
1. Di zaman Rasulullah, sumber hukum Islam ada dua yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah
2. Al-qur'an adalah sumber hukum Islam yang pertama dan utama
3. Menurut bahasa Al-qur'a berarti bacaan
4. Menurut istilah al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dan membacanya adalah ibadah
5. ikhtilaf adalah perbedaan pendapat diantara dua ahli hukum Islam
(fuqaha) dalam menetapkan sebagian hukum Islam yang bersifat furu’iyah
(cabang).
6.Sebab perbedaan pendapat ulama dalam menentukan suatu hukum adalah
perbedaan mereka dalam memahami al-Qur’an. Baik dari segi bahasa,
kontradiksi antara nash al-Qur’an dan beberapa perbedaan lainnya.
7. Perbedaan tersebut diantaranya:
- Perbedaan dari segi bahasa
- Suatu kata memiliki 2 makna atau lebih
- Penggunaan kata tunggal untuk makna menurut bahasa dan syariat
- Perbedaan dalam penetapan hukum dengan kaidah Fiqhiyah
8. Hukum Islam sangat komprehensif dan fleksibel
9. Al-Qur’an menetapkan kaidah-kaidah umum dan ushul-ushul universal
10. Kandungan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an bias bersifat fleksibel karena di dalamnya memberikan berbagai penafsiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar